MENJEMPUT HIDAYAH DI NEGERI SAKURA
“Save flight ya kawanku.”
”Jangan sampai lupa sama tahu tempe ya.
Hehehe.”
“Jangan lupa sholat ya, nduk. Ibu selalu doain kamu.”
“Jaga diri di negeri orang, nak. Bapak akan
rindu kamu.”
“Mbak, bawain oleh-oleh yang banyak kalo
pulang ke Jogja ya.”
“Kalo punya kenalan ganteng kenalin aku ya
mbak.”
Semua ucapan perpisahan itu semakin membuatku
ingin menitikan air mata, mana kala di Bandara Adi Sucipto untuk mengantarkan
keberangkatanku ke Jepang. Betapa tidak, kini aku akan berada sangat jauh
dengan mereka, orangtua, kedua sahabat dan kedua adikku. Beribu-ribu mil
jauhnya, berada di negeri asing yang sama sekali tak pernah ku bayangkan
sebelumnya. Namun, ini semua sudah menjadi pilihanku, aku tak bisa mundur lagi.
Aku hanya bisa membalas semua ucapan itu dengan senyuman.
Tiba-tiba kurasakan genggaman hangat di
tangan kananku, “Kimasu[1],
pesawat akan lepas landas sebentar lagi.” Senyum mengembang di bibir pria
berkulit putih bersih yang tengah berdiri di sebelahku.
Aku hanya membalas dengan anggukan. Kelopak
mataku mulai memanas dan buliran bening tak dapat lagi ku bendung, sebentar
lagi aku akan meninggalkan orang-orang terkasihku dan tanah kelahiranku. Entah
mengapa mendadak bibir ini begitu kelu, hanya untuk memgatakan kata ‘sampai
jumpa’ pun tak mampu. Aku tahu jika aku mengatakan sesuatu pasti akan semakin
membuatku tak bisa meninggalkan mereka, aku bukan orang yang pandai menata
perasaan di hadapan orang banyak. Ku cium kedua pipi ibuku, kucium tangannya,
lalu bapakku. Kemudian ku peluk kedua adikku, lalu kedua sahabatku. Pelukan
lembut yang akan selalu mengingatkanku pada setiap potongan kisah di tanah air
ini.
Perlahan langkah kaki ku mulai menjauh dari
mereka yang masih menatap kepergianku, senyum merekah dari bibir mereka namun
terselip rasa haru dibaliknya. Kubalikkan badanku hingga menghadap mereka yang
masih mematung, “Aku akan kangen kalian.” Teriakan itu membuat seisi bandara
mengarahkan pandangannya ke arahku. Anggukan dan lambaian tangan mejadi balasan
terakhir mereka sebelum aku meninggalkan negeri tercinta ini.
“Apa kamu baik-baik saja?” ujar Kei, pria
berdarah Jepang yang kini menjadi suami ku.
Ya, setelah sebulan yang lalu aku dan pria
pemilik senyum manis ini menikah, aku akan ikut serta bersamanya untuk tinggal
di negeri kelahirannya. Apa boleh buat, aku tak dapat menolaknya lagi karena
ini adalah perjanjian sebelum kami menikah. Awalnya aku sangat ragu untuk
menikah dengannya, begitu banyak perbedaan antara kami. Hingga akhirnya Allah
memberi kami jalan untuk bersatu dalam ikatan halal pernikahan.
Inilah pertemuan kami, saat itu tiga tahun
yang lalu ia baru saja dipindah untuk bertugas di Indonesia oleh perusaan
tempat ia bekerja. Pertama kali ia mengunjungi Japanesse Restaurant tempatku bekerja. Aku bekerja di salah satu
restoran Jepang yang ada di daerah Kuningan, Jakarta Selatan. Saat itu ku
beranikan diri merantau ke Jakarta dan meninggalkan keluarga ku di Jogja,
semata-mata karena aku ingin meraih kesuksesan. Aku bukan anak yang suka
bergantung pada orangtua, ketika itu aku baru saja lulus dari Sekolah Menengah
Kejuruan.
Dompet Kei tertinggal dan kebetulan aku yang
menemukannya tergeletak di atas meja, lalu kusimpan. Keesokan harinya ia
kembali untuk memastikan apakah dompetnya tertinggal atau tidak. Beruntung aku
bukan orang yang suka merampas apa yang bukan hak ku. Kuberikan dompet itu pada
si pemilik, itulah awal perkenalanku dengannya, Kei Kazuki, pria tampan dan
sangat ramah. Setelah peristiwa itu ia jadi gemar mengunjungi restoran tempatku
bekerja, entah karena makanannya lezat atau ada maksud lain. Seringkali ia
mengajakku ngobrol disela-sele kerjaku, sebagai karyawan yang baik aku melayani
customer dengan baik, selama itu tak melanggar norma. Akhirnya kami pun
bertukar nomor Whatsapp, sesekali bertemu di akhir pekan atau sekedar mengobrol
di depan restoran ketika aku pulang kerja, untung saja Bahasa Inggris pria itu
cukup lancar hingga kami tak menemukan kesulitan berbicara. Entahlah ia selalu
siaga di depan restoran ketika aku pulang kerja. Satu tahun berlalu.
Hingga pada suatu malam, ia mengucapkan
kalimat yang sungguh membuat aliran darahku membeku, kedua pipi ku memanas dan
entahlah jika aku punya ilmu menghilangkan diri, rasanya aku akan menghilang
dari hadapanya saat itu juga.
“Will you marry me? Aku pikir kau adalah
gadis terbaik yang ku pilih menjadi pendamping hidupku.”
Aku tak bisa menggerakkan lidah, seketika
semua terasa kaku dan pipiku kian memanas, pasti ia telah menyaksikan pipiku
yang merah semerah kepitig rebus. “Are you serious? Aku bukan orang yang suka
bercanda.” Ujarku dengan kepala tertunduk, aku tak kuasa mentap wajahnya.
“Apa kau melihat aku sedang bercanda. Come
on, untuk masalah ini aku tak bisa bercanda.”
“Tapi. Apakah kau tahu?”
“What? Please tell me.”
“Ada jurang diantara kita, banyak sekali
perbedaan, terutama tentang...” tak kulanjutkan ucapanku, aku takut akan
menyinggung perasaannya.
“Tentang apa? Tolong bilang saja, perbedaan
apa maksudmu?
“Tentang, tentang keyakinan kita. Aku tidak
bisa menikah dengan seseorang yang tak seiman denganku. I’m so sorry, it would
never be.” Kemudian kuraih tas ku dan bergegas pergi meninggalkan Kei yang saat
itu terlihat kurang faham dengan penjelasanku.
Enam
Bulan Kemudian
Waktu menunjukkan pukul
semibilan malam, aku hendak bergegas pulang ke kost ku karena jam kerja sudah
usai. Aku terkejut setelah melihat Kei berdiri di halaman parkir restoran. Tak
ku sangka, ku kira setelah 6 bulan ia sama sekali tak menghubungi ku ia pun
sudah tak perduli denganku, namun mengapa tiba-tiba ia hadir lagi. Entahlah apa
tujuannya menemuiku.
“Hi, how are you?” sapanya ramah. “Besok
tolong datang kantor ku pukul sepuluh pagi.” Tiba-tiba saja ia mengucapkan
kalimat yang bernada perintah.
“Tapi untuk apa?”
“Sudah kamu datang saja, kalau sudah sampi
lobby bilang saja kamu teman ku. Maka, nanti receptionist akan menunjukkan di
mana kau harus menemui aku.” Ujar Kei sembari membuka pintu mobilnya, tanpa mau
mendengar persetujuan dariku “Ku tunggu ya. Don’t be late.” Lanjutnya diiringi
senyum manisnya yang menggetarkan dadaku.
Keesokan harinya, aku datang ke kantor Kei
tepat pukul sepuluh. Sesampainya di lobby seorang receptionist berparas cantik
beramput sebahu menyapaku ramah. Begitu aku bilang bahwa aku adalah teman Kei,
ia pun mengantarku menuju ruangan di mana tempat Kei berada sekarang. Aku
terkejut saat receptionist itu membawaku ke sebuah ruangan kecil berkukuran
sedang, terlihat begitu bersih dan rapi dan bertuliskan ‘Mushola’.
“Silahkan mbak, Mr. Kei ada di dalam.” Ujar
Receptionist cantik itu
“Oh ya, terimakasih.” Balasku.
Aku pun bergegas masuk, dan betapa
terkejutnya aku, tampak seorang ustadz tengan duduk di hadapan Kei dan beberapa
rekan kerja Kei. Sebenarnya apa yg sedang terjadi.
“Etika, akhirnya kamu datang juga.” Ujar Kei
begitu ia menyadari kedatanganku.
“Kei, what happen?” sahutku penasaran
“Ok, i’ll explain it. Aku ingin kamu menjadai
saksi keislamanku. Saat ini juga aku akan memeluk islam.
Sontak, aliran darahku tiba-tiba terasa begu,
jatungku seaakan melompat dari empunta, sekujur tubuhku terasa dingin. Aku
benar-benar terkejut atas apa yg telah diucapkan Kei. Ini bukan mimpi, Kei
benar-benar memeluk islam. Buliran bening menetes ketika telinga ku mendengar
dua kalimat syahadat keluar dari bibir Kei, “Asyhadu
an-laa ilaaha illallaah Wa asyhadu anna Muhammadan rasuulullah.” Ia ucapkan
dengan penuh percaya diri. Semua seisi ruangan mengucap Alhamdulillah.
Dua hari setelah itu, Kei menemuiku kembali
untuk mengucapkan niatnya untuk menikahiku. Aku masih belum bisa menentukan
keputusan, aku masih dalam kebimbangan. Akhirnya ia memberiku waktu satu minggu
dan aku pun mengiyakannya. Saat itu aku meminta petunjuk pada Allah melalui
sholat istiqoroh, dan ternyata Allah memberiku petunjuk agar aku menerima
lamaran Kei. Tiga bulan setelahnya Kei memberanikan diri menemui keluargaku di
Jogja dan kami pun menikah, tak ada perayaan mewah, hanya ijab qobul karena
pekerjaan Kei yang begitu padat.
Suara lirih membangunkan ku dari lamunan, “Apa
kamu mau minum cappucino ini?” ujar Kei menawariku secangkir cappucino yang
baru saja diberikan oleh seorang pramugari. Aku menolaknya dengan gelengan
kepala. Ku arahkan pandanganku keluar jendela pesawat, langit yang biru dihiasi
semburat awan putih yang sangat indah menemani perjalananku.
Belasan jam penerbangan akhirnya kami sampai
juga di negeri terkenal dengan bunga sakuranya. Saat ini Jepang sedang musim
panas, suhunya bisa mencapai 40 derajat celcius. Untuk pertama kalinya aku
berada sangat jauh dari orang-orang yang ku cintai. Aku harus memulai hidup
baru dengan suasana dan orang baru.
Keseharianku hanya ku isi dengan berdiam di
rumah dan sesekali jalan-jalan menikmati keindahan kota Tokyo. Kota terpadat di
Jepang ini menjadi kota metropolitan terbesar di dunia, banyak tempat-tempat yg
menjadi destinasi para wistawan, salah satunya Tokyo Tower yang terletak di
distrik Shibakeon Minato Tokyo. Pada suatu malam aku berkunjung ke tempat itu
seorang diri. Tiba-tiba aku melihat seorang gadis Indonesia berhijab yang
tengah berkunjung juga di Tokyo Tower. Ternyata di negeri minoritas muslim ini
ada muslimah yang percaya diri menampakan identitasnya di khalayak umum. Entah
mengapa dadaku bergetar, ku amati diriku sendiri dari ujung kepala hingga ujung
kaki, ku rasa ada yang salah dengan diriku. Tapi apa? Berhari-hari aku
merenung, ternyata selama ini aku belum menjadi muslimah yang seutuhnya, aku
memang menjalankan perintah islam, aku sholat, aku puasa dan aku mengaji. Tapi
aku tak menutup auratku. Setelah berpikir cukup lama aku semakin mantap untuk
menutup aurat, terlebih saat aku beratanya pada seorang teman di Indonesia yang
sudah lebih dulu berhijab. Ia bilang bahwa wanita muslim memang harus menutup
aurat apapun keadaannya dan bagaimana pun akhlaknya, karena menutup aurat itu
wajib bagi seorag muslimah.
Ku beranikan untuk menyampaikan keinginanku
pada suami, mulanya ia melarang karena di Jepang masih banyak islamophia akibat
kabar terorisme yangberedar di seluruh dunia. Namun, pelan-pelan kujelaskan
bahwa seorang muslimah wajib berhijab. Ia akhirnya memahami, namun ia memberiku
persyaratan yang mengejutkan, “Kamu boleh berhijab tapi jika bertemu orangtuaku
kamu lepas hijab mu. Mereka benci wanita berhijab. Kamu harus hargai juga
orangtuaku.” Persyaratan yang sulit ku terima, bagaimana mungkin aku berhijab
dan melepaskannya begitu saja seenakku. Namun aku harus hargai mertuaku.
Awalnya aku agak kesulitan menemukan pakain
tertutup sesuai syariat islam karena selama ini ku tak memiliki pakaian seperti
itu, namun tak menyurutkan niatku. Ku kombinasi celana panjang, sweater, kaos
panjang, dress panjang dan beberapa potong kain jilbab yang ku bawa dari
Indonesia. Nampak kurang pas dipandang namun cukup bisa menutup auratku.
Suatu ketika aku pergi ke sebuah supermarket
untuk membeli beberapa persediaan dapur. Aku memakai dress panjang tanpa lengan
berwarna hitam dan aku memakai luaran sweater rajut berwarna krem tak lupa ku
kenakan jilbab berwarna hitam. Setelah beberapa menit mematut diri di depan
cermin, kurasa lumayan pas outfit ku ini. Dengan percaya diri aku pun bergegas ke
supermarket. Ternyata pakaianku ini mengundang banyak pasang mata untuk
memperhatikanku ketika aku berjalan menuju stasiun, semua orang memandangku
penuh tanda tanya, bahkan ada yang terlihat ketakutan. Entahlah apa yang
terjadi dengan orang-orang itu. Dan yang paling mengejutkan, seorang penjaga
supermarket memandangku penuh kebencian. Apakah ada yang salah dengan wanita
berhijab di negeri ini?
Keesokan harinya aku pergi ke salah satu
pusat perbelanjaan di Tokyo, aku memakai rok panjang berwarna navy blue yang ku
beli saat masih bekerja di restoran dulu, untuk atasan aku memakai kaos panjang
berwarna senada dan ku tutup bagian kepalaku dengan pasmina berwarna krem
bermotif batik hadiah dari ibuku dulu. Saat aku menaiki kereta aku bertemu
dengan sekelompok pemudi Jepang yang berpakaian sangat minim. Mereka
memandangku dari ujung kaki hingga ujung kepala, mereka tampak keheranan
melihatku. Salah seorang mereka berbisik dengan yang lainnya, “Kawai[2].”
Mendengar ucapannya aku hanya tersenyum kecil. Ku rasa mereka heran di
siang yang terik dan udaranya pun panas, aku mengenakan pakaian yang tertutup.
Satu kata dari pemudi itu membuatku semakin yakin untuk menutup auratku di
negeri sakura ini. Tak semua warga Tokyo berpikiran negatif tentang wanita
berhijab. Terlebih kini suami mulai mendukung perubahanku. Sesekali ia memuji
kecantikanku ketika sedang mengenakan
hijab. Sungguh, aku merasakan ketenangan yang luar biasa ketika aku
sudah menjalankan perintah Allah yang satu ini, meskipun akhlak ku belum begitu
baik. Aku yakin Allah akan menerima hijrahku ini. Semoga aku bisa Istoqomah.
Aamii.
SELESAI
Kata Inspiratif :
Sahabat muslimah, hidayah itu bukan ditunggu
tapi dijemput. Banyak muslimah yg belum menutup aurat bilang, “Aku nunggu
hidayah datang” saat ada orang bertanya kapan berhijab. Wah, ini salah.
Bahwasannya hidayah itu tidak akan datang ketika seseorang masih terus
menikmati masa jahiliahnya. Bagaimana caranya menjemput hidayah? Yaitu dengan
instrospeksi diri, apakah kita sudah benar-benar baik di mata Allah, sudah
menjalankan perintah-Nya dan Rasul-Nya. Lalu tanya pada diri sendiri, untuk apa
aku hidup di dunia ini? Apakah untuk bersenang-senang menikmati dunia yang semu
ini atau untuk bertemu dengan Allah di surga nanti? Sahabat Muslimah, mari kita
renungkan bersama.
Biodata :
Nama : Noficha Priyamsari
Alamat : Simo 2 RT/RW 05/09,
Genjahan, Ponjong, Gunungkidul, Yogyakarta
Akun Instagram : @nprym
Akun Twitter : @NofichaP
Alamat E-mail : ichapriyam@gmail.com
No. Handphone : 081391078119