Jumat, 23 September 2016

Kisah Inspiratif Yang Aku Tulis Berdasarkan Kisah Sahabatku



MENJEMPUT HIDAYAH DI NEGERI SAKURA
  Save flight ya kawanku.”
  ”Jangan sampai lupa sama tahu tempe ya. Hehehe.”
  “Jangan lupa sholat ya, nduk. Ibu selalu doain kamu.”
  “Jaga diri di negeri orang, nak. Bapak akan rindu kamu.”
  “Mbak, bawain oleh-oleh yang banyak kalo pulang ke Jogja ya.”
  “Kalo punya kenalan ganteng kenalin aku ya mbak.”
  Semua ucapan perpisahan itu semakin membuatku ingin menitikan air mata, mana kala di Bandara Adi Sucipto untuk mengantarkan keberangkatanku ke Jepang. Betapa tidak, kini aku akan berada sangat jauh dengan mereka, orangtua, kedua sahabat dan kedua adikku. Beribu-ribu mil jauhnya, berada di negeri asing yang sama sekali tak pernah ku bayangkan sebelumnya. Namun, ini semua sudah menjadi pilihanku, aku tak bisa mundur lagi. Aku hanya bisa membalas semua ucapan itu dengan senyuman.
  Tiba-tiba kurasakan genggaman hangat di tangan kananku, “Kimasu[1], pesawat akan lepas landas sebentar lagi.” Senyum mengembang di bibir pria berkulit putih bersih yang tengah berdiri di sebelahku.
  Aku hanya membalas dengan anggukan. Kelopak mataku mulai memanas dan buliran bening tak dapat lagi ku bendung, sebentar lagi aku akan meninggalkan orang-orang terkasihku dan tanah kelahiranku. Entah mengapa mendadak bibir ini begitu kelu, hanya untuk memgatakan kata ‘sampai jumpa’ pun tak mampu. Aku tahu jika aku mengatakan sesuatu pasti akan semakin membuatku tak bisa meninggalkan mereka, aku bukan orang yang pandai menata perasaan di hadapan orang banyak. Ku cium kedua pipi ibuku, kucium tangannya, lalu bapakku. Kemudian ku peluk kedua adikku, lalu kedua sahabatku. Pelukan lembut yang akan selalu mengingatkanku pada setiap potongan kisah di tanah air ini.
  Perlahan langkah kaki ku mulai menjauh dari mereka yang masih menatap kepergianku, senyum merekah dari bibir mereka namun terselip rasa haru dibaliknya. Kubalikkan badanku hingga menghadap mereka yang masih mematung, “Aku akan kangen kalian.” Teriakan itu membuat seisi bandara mengarahkan pandangannya ke arahku. Anggukan dan lambaian tangan mejadi balasan terakhir mereka sebelum aku meninggalkan negeri tercinta ini.
  “Apa kamu baik-baik saja?” ujar Kei, pria berdarah Jepang yang kini menjadi suami ku.
  Ya, setelah sebulan yang lalu aku dan pria pemilik senyum manis ini menikah, aku akan ikut serta bersamanya untuk tinggal di negeri kelahirannya. Apa boleh buat, aku tak dapat menolaknya lagi karena ini adalah perjanjian sebelum kami menikah. Awalnya aku sangat ragu untuk menikah dengannya, begitu banyak perbedaan antara kami. Hingga akhirnya Allah memberi kami jalan untuk bersatu dalam ikatan halal pernikahan.
  Inilah pertemuan kami, saat itu tiga tahun yang lalu ia baru saja dipindah untuk bertugas di Indonesia oleh perusaan tempat ia bekerja. Pertama kali ia mengunjungi Japanesse Restaurant tempatku bekerja. Aku bekerja di salah satu restoran Jepang yang ada di daerah Kuningan, Jakarta Selatan. Saat itu ku beranikan diri merantau ke Jakarta dan meninggalkan keluarga ku di Jogja, semata-mata karena aku ingin meraih kesuksesan. Aku bukan anak yang suka bergantung pada orangtua, ketika itu aku baru saja lulus dari Sekolah Menengah Kejuruan.
  Dompet Kei tertinggal dan kebetulan aku yang menemukannya tergeletak di atas meja, lalu kusimpan. Keesokan harinya ia kembali untuk memastikan apakah dompetnya tertinggal atau tidak. Beruntung aku bukan orang yang suka merampas apa yang bukan hak ku. Kuberikan dompet itu pada si pemilik, itulah awal perkenalanku dengannya, Kei Kazuki, pria tampan dan sangat ramah. Setelah peristiwa itu ia jadi gemar mengunjungi restoran tempatku bekerja, entah karena makanannya lezat atau ada maksud lain. Seringkali ia mengajakku ngobrol disela-sele kerjaku, sebagai karyawan yang baik aku melayani customer dengan baik, selama itu tak melanggar norma. Akhirnya kami pun bertukar nomor Whatsapp, sesekali bertemu di akhir pekan atau sekedar mengobrol di depan restoran ketika aku pulang kerja, untung saja Bahasa Inggris pria itu cukup lancar hingga kami tak menemukan kesulitan berbicara. Entahlah ia selalu siaga di depan restoran ketika aku pulang kerja. Satu tahun berlalu.
  Hingga pada suatu malam, ia mengucapkan kalimat yang sungguh membuat aliran darahku membeku, kedua pipi ku memanas dan entahlah jika aku punya ilmu menghilangkan diri, rasanya aku akan menghilang dari hadapanya saat itu juga.
  “Will you marry me? Aku pikir kau adalah gadis terbaik yang ku pilih menjadi pendamping hidupku.”
  Aku tak bisa menggerakkan lidah, seketika semua terasa kaku dan pipiku kian memanas, pasti ia telah menyaksikan pipiku yang merah semerah kepitig rebus. “Are you serious? Aku bukan orang yang suka bercanda.” Ujarku dengan kepala tertunduk, aku tak kuasa mentap wajahnya.
  “Apa kau melihat aku sedang bercanda. Come on, untuk masalah ini aku tak bisa bercanda.”
  “Tapi. Apakah kau tahu?”
  “What? Please tell me.”
  “Ada jurang diantara kita, banyak sekali perbedaan, terutama tentang...” tak kulanjutkan ucapanku, aku takut akan menyinggung perasaannya.
  “Tentang apa? Tolong bilang saja, perbedaan apa maksudmu?
  “Tentang, tentang keyakinan kita. Aku tidak bisa menikah dengan seseorang yang tak seiman denganku. I’m so sorry, it would never be.” Kemudian kuraih tas ku dan bergegas pergi meninggalkan Kei yang saat itu terlihat kurang faham dengan penjelasanku.
Enam Bulan Kemudian
  Waktu menunjukkan pukul semibilan malam, aku hendak bergegas pulang ke kost ku karena jam kerja sudah usai. Aku terkejut setelah melihat Kei berdiri di halaman parkir restoran. Tak ku sangka, ku kira setelah 6 bulan ia sama sekali tak menghubungi ku ia pun sudah tak perduli denganku, namun mengapa tiba-tiba ia hadir lagi. Entahlah apa tujuannya menemuiku.
  “Hi, how are you?” sapanya ramah. “Besok tolong datang kantor ku pukul sepuluh pagi.” Tiba-tiba saja ia mengucapkan kalimat yang bernada perintah.
  “Tapi untuk apa?”
  “Sudah kamu datang saja, kalau sudah sampi lobby bilang saja kamu teman ku. Maka, nanti receptionist akan menunjukkan di mana kau harus menemui aku.” Ujar Kei sembari membuka pintu mobilnya, tanpa mau mendengar persetujuan dariku “Ku tunggu ya. Don’t be late.” Lanjutnya diiringi senyum manisnya yang menggetarkan dadaku.
  Keesokan harinya, aku datang ke kantor Kei tepat pukul sepuluh. Sesampainya di lobby seorang receptionist berparas cantik beramput sebahu menyapaku ramah. Begitu aku bilang bahwa aku adalah teman Kei, ia pun mengantarku menuju ruangan di mana tempat Kei berada sekarang. Aku terkejut saat receptionist itu membawaku ke sebuah ruangan kecil berkukuran sedang, terlihat begitu bersih dan rapi dan bertuliskan ‘Mushola’.
  “Silahkan mbak, Mr. Kei ada di dalam.” Ujar Receptionist cantik itu
  “Oh ya, terimakasih.” Balasku.
  Aku pun bergegas masuk, dan betapa terkejutnya aku, tampak seorang ustadz tengan duduk di hadapan Kei dan beberapa rekan kerja Kei. Sebenarnya apa yg sedang terjadi.
  “Etika, akhirnya kamu datang juga.” Ujar Kei begitu ia menyadari kedatanganku.
  “Kei, what happen?” sahutku penasaran
  “Ok, i’ll explain it. Aku ingin kamu menjadai saksi keislamanku. Saat ini juga aku akan memeluk islam.
  Sontak, aliran darahku tiba-tiba terasa begu, jatungku seaakan melompat dari empunta, sekujur tubuhku terasa dingin. Aku benar-benar terkejut atas apa yg telah diucapkan Kei. Ini bukan mimpi, Kei benar-benar memeluk islam. Buliran bening menetes ketika telinga ku mendengar dua kalimat syahadat keluar dari bibir Kei, “Asyhadu an-laa ilaaha illallaah Wa asyhadu anna Muhammadan rasuulullah.” Ia ucapkan dengan penuh percaya diri. Semua seisi ruangan mengucap Alhamdulillah.
  Dua hari setelah itu, Kei menemuiku kembali untuk mengucapkan niatnya untuk menikahiku. Aku masih belum bisa menentukan keputusan, aku masih dalam kebimbangan. Akhirnya ia memberiku waktu satu minggu dan aku pun mengiyakannya. Saat itu aku meminta petunjuk pada Allah melalui sholat istiqoroh, dan ternyata Allah memberiku petunjuk agar aku menerima lamaran Kei. Tiga bulan setelahnya Kei memberanikan diri menemui keluargaku di Jogja dan kami pun menikah, tak ada perayaan mewah, hanya ijab qobul karena pekerjaan Kei yang begitu padat.
  Suara lirih membangunkan ku dari lamunan, “Apa kamu mau minum cappucino ini?” ujar Kei menawariku secangkir cappucino yang baru saja diberikan oleh seorang pramugari. Aku menolaknya dengan gelengan kepala. Ku arahkan pandanganku keluar jendela pesawat, langit yang biru dihiasi semburat awan putih yang sangat indah menemani perjalananku.
  Belasan jam penerbangan akhirnya kami sampai juga di negeri terkenal dengan bunga sakuranya. Saat ini Jepang sedang musim panas, suhunya bisa mencapai 40 derajat celcius. Untuk pertama kalinya aku berada sangat jauh dari orang-orang yang ku cintai. Aku harus memulai hidup baru dengan suasana dan orang baru.
  Keseharianku hanya ku isi dengan berdiam di rumah dan sesekali jalan-jalan menikmati keindahan kota Tokyo. Kota terpadat di Jepang ini menjadi kota metropolitan terbesar di dunia, banyak tempat-tempat yg menjadi destinasi para wistawan, salah satunya Tokyo Tower yang terletak di distrik Shibakeon Minato Tokyo. Pada suatu malam aku berkunjung ke tempat itu seorang diri. Tiba-tiba aku melihat seorang gadis Indonesia berhijab yang tengah berkunjung juga di Tokyo Tower. Ternyata di negeri minoritas muslim ini ada muslimah yang percaya diri menampakan identitasnya di khalayak umum. Entah mengapa dadaku bergetar, ku amati diriku sendiri dari ujung kepala hingga ujung kaki, ku rasa ada yang salah dengan diriku. Tapi apa? Berhari-hari aku merenung, ternyata selama ini aku belum menjadi muslimah yang seutuhnya, aku memang menjalankan perintah islam, aku sholat, aku puasa dan aku mengaji. Tapi aku tak menutup auratku. Setelah berpikir cukup lama aku semakin mantap untuk menutup aurat, terlebih saat aku beratanya pada seorang teman di Indonesia yang sudah lebih dulu berhijab. Ia bilang bahwa wanita muslim memang harus menutup aurat apapun keadaannya dan bagaimana pun akhlaknya, karena menutup aurat itu wajib bagi seorag muslimah.
  Ku beranikan untuk menyampaikan keinginanku pada suami, mulanya ia melarang karena di Jepang masih banyak islamophia akibat kabar terorisme yangberedar di seluruh dunia. Namun, pelan-pelan kujelaskan bahwa seorang muslimah wajib berhijab. Ia akhirnya memahami, namun ia memberiku persyaratan yang mengejutkan, “Kamu boleh berhijab tapi jika bertemu orangtuaku kamu lepas hijab mu. Mereka benci wanita berhijab. Kamu harus hargai juga orangtuaku.” Persyaratan yang sulit ku terima, bagaimana mungkin aku berhijab dan melepaskannya begitu saja seenakku. Namun aku harus hargai mertuaku.
  Awalnya aku agak kesulitan menemukan pakain tertutup sesuai syariat islam karena selama ini ku tak memiliki pakaian seperti itu, namun tak menyurutkan niatku. Ku kombinasi celana panjang, sweater, kaos panjang, dress panjang dan beberapa potong kain jilbab yang ku bawa dari Indonesia. Nampak kurang pas dipandang namun cukup bisa menutup auratku.
  Suatu ketika aku pergi ke sebuah supermarket untuk membeli beberapa persediaan dapur. Aku memakai dress panjang tanpa lengan berwarna hitam dan aku memakai luaran sweater rajut berwarna krem tak lupa ku kenakan jilbab berwarna hitam. Setelah beberapa menit mematut diri di depan cermin, kurasa lumayan pas outfit ku ini. Dengan percaya diri aku pun bergegas ke supermarket. Ternyata pakaianku ini mengundang banyak pasang mata untuk memperhatikanku ketika aku berjalan menuju stasiun, semua orang memandangku penuh tanda tanya, bahkan ada yang terlihat ketakutan. Entahlah apa yang terjadi dengan orang-orang itu. Dan yang paling mengejutkan, seorang penjaga supermarket memandangku penuh kebencian. Apakah ada yang salah dengan wanita berhijab di negeri ini?
  Keesokan harinya aku pergi ke salah satu pusat perbelanjaan di Tokyo, aku memakai rok panjang berwarna navy blue yang ku beli saat masih bekerja di restoran dulu, untuk atasan aku memakai kaos panjang berwarna senada dan ku tutup bagian kepalaku dengan pasmina berwarna krem bermotif batik hadiah dari ibuku dulu. Saat aku menaiki kereta aku bertemu dengan sekelompok pemudi Jepang yang berpakaian sangat minim. Mereka memandangku dari ujung kaki hingga ujung kepala, mereka tampak keheranan melihatku. Salah seorang mereka berbisik dengan yang lainnya, “Kawai[2].” Mendengar ucapannya aku hanya tersenyum kecil. Ku rasa mereka heran di siang yang terik dan udaranya pun panas, aku mengenakan pakaian yang tertutup. Satu kata dari pemudi itu membuatku semakin yakin untuk menutup auratku di negeri sakura ini. Tak semua warga Tokyo berpikiran negatif tentang wanita berhijab. Terlebih kini suami mulai mendukung perubahanku. Sesekali ia memuji kecantikanku ketika sedang mengenakan  hijab. Sungguh, aku merasakan ketenangan yang luar biasa ketika aku sudah menjalankan perintah Allah yang satu ini, meskipun akhlak ku belum begitu baik. Aku yakin Allah akan menerima hijrahku ini. Semoga aku bisa Istoqomah. Aamii.
SELESAI








Kata Inspiratif :
  Sahabat muslimah, hidayah itu bukan ditunggu tapi dijemput. Banyak muslimah yg belum menutup aurat bilang, “Aku nunggu hidayah datang” saat ada orang bertanya kapan berhijab. Wah, ini salah. Bahwasannya hidayah itu tidak akan datang ketika seseorang masih terus menikmati masa jahiliahnya. Bagaimana caranya menjemput hidayah? Yaitu dengan instrospeksi diri, apakah kita sudah benar-benar baik di mata Allah, sudah menjalankan perintah-Nya dan Rasul-Nya. Lalu tanya pada diri sendiri, untuk apa aku hidup di dunia ini? Apakah untuk bersenang-senang menikmati dunia yang semu ini atau untuk bertemu dengan Allah di surga nanti? Sahabat Muslimah, mari kita renungkan bersama.
Biodata :
Nama                           : Noficha Priyamsari
Alamat                        : Simo 2 RT/RW 05/09, Genjahan, Ponjong, Gunungkidul, Yogyakarta
Akun Instagram          : @nprym
Akun Twitter              : @NofichaP
Alamat E-mail             : ichapriyam@gmail.com
No. Handphone          : 081391078119

 


[1] Ayo : Bahasa Jepang
[2] Cantik : Bahasa Jepang